Beranda | Artikel
Faedah Sirah Nabi: Pelajaran dari Dakwah ke Thaif #03
Jumat, 29 Maret 2019

Tersisa tiga pelajaran lagi kali ini tentang perjalanan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Thaif, di antaranya tentang jin yang mendengarkan Al-Qur’an.

 

Pelajaran #10

 

Berdasarkan peristiwa kehadiran bangsa jin pada tilawah Al-Qur’an dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat kita petik dua pelajaran, yaitu:

  1. Adab jin pada waktu mereka mendengarkan Al-Qur’an dibaca, yaitu ketika mereka hadir untuk mendengarkan tilawah, maka sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, “diamlah kalian dan dengarkanlah.” Ini merupakan adab yang sangat penting diperhatikan saat mendengar bacaan Al-Qur’an.
  2. Allah Ta’ala memberitahukan tentang reaksi jin sesudah mereka mendengar Al-Qur’an dibaca. Dalam ayat disebutkan, “Ketika pembacaan selesai mereka kembali kepada kaum mereka untuk memberikan peringatan.” Inilah tanggungjawab dakwah yang harus selalu diingat pada saat kita membaca kisah jin yang segera bergerak untuk memberi peringatan kepada kaumnya sesudah mereka mendengar arahan Allah di dalam ayat-ayat-Nya.

 

Pelajaran #11

 

Betapa pun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan gangguan dan kesakitan dari perilaku orang-orang Makkah dan Thaif, namun demikian beliau mengatakan kepada Zaid bin Haritsah, “Wahai Zaid, sesungguhnya Allah akan memberikan jalan keluar dari kesulitan yang kamu alami ini, dan sesungguhnya Dia akan menolong agama-Nya dan memenangkan Nabi-Nya.”

Seorang mukmin tidak mengenal putus asa atau terkena depresi dalam perjuangan.

Allah Ta’ala berfirman,

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (23)

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al Hadid: 22-23)

Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Janganlah bersedih dengan nikmat dunia yang luput darimu. Janganlah pula berbangga dengan nikmat yang diberikan padamu. Karena nikmat tersebut dalam waktu dekat bisa sirna. Sesuatu yang dalam waktu dekat bisa sirna tidak perlu dibangga-banggakan. Jadi tidak perlu engkau berbangga dengan hasil yang diperoleh dan tidak perlu engkau bersedih dengan sesuatu yang luput darimu. Semua ini adalah ketetapan dan takdir Allah … Intinya, manusia tidaklah bisa lepas dari rasa sedih dan berbangga diri.” Disebutkan dalam Fath Al-Qadir karya Imam Asy-Syaukani.

 

Pelajaran #12

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengingat jasa baik orang lain, dan usaha beliau untuk membalasnya dengan baik. Beliau telah mengingat jasa baik Al-Muth’im bin ‘Adiy yang pernah menolong beliau ketika beliau hendak memasuki Makkah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengingat peristiwa tersebut pada hari ketika beliau menang atas kaum kafir, dan membawa banyak tawanan dari mereka. Beliau lalu memberitahukan kepada para sahabat, bahwa seandainya Al-Muth’im bin ‘Adiy masih hidup, lalu ia meminta beliau untuk membebaskan para tawanan itu, niscaya beliau akan membebaskan mereka demi dia. Begitulah bentuk terima kasih beliau kepada orang lain.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

Tidak dikatakan bersyukur pada Allah bagi siapa yang tidak tahu berterima kasih pada manusia.” (HR. Abu Daud, no. 4811 dan Tirmidzi, no. 1954. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Dari Jabir bin Abdillah Al-Anshary radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرْوُفٌ فَلْيُجْزِئْهُ، فَإِنْ لَمْ يُجْزِئْهُ فَلْيُثْنِ عَلَيْهِ؛ فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى عَلَيْهِ فَقَدْ شَكَرَهُ، وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ، وَمَنْ تَحَلَّى بَمَا لَمْ يُعْطَ، فَكَأَنَّمَا لَبِسَ ثَوْبَيْ زُوْرٍ

Siapa yang memperoleh kebaikan dari orang lain, hendaknya dia membalasnya. Jika tidak menemukan sesuatu untuk membalasnya, hendaklah dia memuji orang tersebut, karena jika dia memujinya maka dia telah mensyukurinya. Jika dia menyembunyikannya, berarti dia telah mengingkari kebaikannya. Seorang yang berhias terhadap suatu (kebaikan) yang tidak dia kerjakan atau miliki, seakan-akan ia memakai dua helai pakaian kepalsuan.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 215, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ ، فَقَالَ لِفَاعِلِهِ : جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا , فَقَدْ أبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ

Siapa yang diberikan kebaikan, lalu ia katakan kepada orang yang memberikan kebaikan tersebut, “Jazakallah khoiron (semoga Allah membalas dengan kebaikan)”, seperti itu sudah sangat baik dalam memuji.” (HR. Tirmidzi, no. 2035 dan An-Nasai dalam Al-Kubro, no. 10008, juga dalam ‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah, no. 180. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5:322) disebutkan bahwa ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata,

لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُكُمْ مَا لَهُ فِي قَوْلِهِ لِأَخِيْهِ : جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا ، لَأَكْثَرَ مِنْهَا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ

Seandainya salah seorang di antara kalian tahu akan baiknya doa “Jazakallahu khoiron (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan) tentu ia akan terus mendoakan satu dan lainnya.”

Semoga Allah memberikan ilmu yang bermanfaat. Setelah itu berlanjut pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj.

 

Referensi:

Fiqh As-Sirah.Cetakan Tahun 1424 H. Prof. Dr.Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.

Fath Al-Qadir. Cetakan Ketiga, Tahun 1426 H. Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy-Syaukani. Penerbit Darul Wafa’.

Di #darushsholihin, 22 Rajab 1440 H menjelang Maghrib Jumat sore

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

 


Artikel asli: https://rumaysho.com/20068-faedah-sirah-nabi-pelajaran-dari-dakwah-ke-thaif-03.html